Hello 2017.. Saya Nike Yosephine, yang agak sibuk dengan
beragam aktivitas kantoran kembali tertarik untuk menulis karena tersentak oleh
kalimat di buku “Politik Bahasa Penguasa” karya Fathur Rokhman dan Surahmat.
Dalam buku tersebut ditulis seperti ini “ADA nasihat
Machiavelli yang tampaknya begitu berguna bagi para penguasa, baik dulu maupun
kini. “Penguasa,” katanya “tidak perlu
memiliki semua kualitas yang bagus, tetapi perlu untuk dianggap berkualitas.”
Pasti, yang ada dibenak kita saat ini adalah, sederhananya
sebut saja itu sebuah pencitraan? Tidak perlu keren, yang penting dianggap
keren. Paham maksudnya ya. Tapi bagi saya pencitraan bukanlah kata yang
dilahirkan untuk mendapatkan konotasi negatif. Pencitraan itu baik, bila
dilakukan sesuai dengan apa yang dikerjakan. Tujuan pencitraan yang baik adalah
membangkitkan semangat yang sama; membangun sesuatu yang baik.
Namun sayangnya, di era yang sudah serba digital ini
masyarakat Indonesia khususnya melakukan pencitraan-pencitraan yang kebanyakan
membangkitkan iri dengki, kepalsuan alias fake,
dan bahasa yang berbeda dengan realitanya.
Kembali lagi ke nasihat Machiavelli tadi, rasanya sangat
relevan dengan apa yang menjadi sorotan Presiden Jokowi menutup akhir tahun 2016. Dalam Rapat Terbatas (29/12/2016) membahas
Antisipasi Perkembangan Media Sosial Presiden menyatakan “Media Sosial harus
dikembangkan ke arah hal-hal yang produktif, mendorong kreativitas, dan
inovasi, dan peningkatan masyarakat kita.” Kenapa ini menjadi sorotan, karena
Presiden melihat bahwa di media sosial kita saat ini telah banyak BAHASA yang
menjelma menjadi informasi yang meresahkan, mengadu domba dan memecah belah.
Penguasa yang disebut Machiavelli tadi bagi saya bisa
direfleksikan sebagai penguasa akun-akun media sosial yang saat ini telah
mengabaikan kualitas bagus, tapi hanya ingin “dianggap berkualitas” dan
akhirnya menggunakan alat yakni bahasa yang dirangkai sedemikian rupa, dipoles
sana sini seolah benar adanya, namun bertujuan untuk mendominasi pikiran
pembaca.
Sadar atau tidak sadar, BAHASA memiliki peran penting dalam kehidupan
umat manusia. Dalam setiap aktivitas, manusia memanfaatkan bahasa, baik dalam
bentuk lisan, tulisan, maupun bahasa gambar, bahasa photography, dan lain
sebagainya.
Saya berikan contoh sederhana saja di media sosial. Sebagai
Generasi Y (generasi yang lahir di tahun 90an) dan Generasi milenial (generasi
yang lahir di tahun 2000an) bahasa itu penting sekali. Bila ingin mengunggah
sebuah foto saja di instagram, mungkin beberapa orang membutuhkan waktu untuk :
- Mengedit foto tersebut (brightness/ kecerahan dari foto dinaikkan supaya foto tidak terlihat gelap. Contras, saturation, etc. Pasti familiar kan dengan istilah-istilah itu). Ini kita sebut mengatur “BAHASA GAMBAR”.
- Banyaknya aplikasi dan canggihnya teknologi memungkinkan orang mengedit ‘wajah, tubuh bahkan warna kulit’ mereka. Kalau pipi nya kurang tirus, ada aplikasi meniruskan pipi. Kalau badannya kurang kurus, ada aplikasi menguruskan badan, dsb. Namun aplikasi ini banyak disalahgunakan orang sampai muncul diberita seorang laki-laki tertipu karena wajah asli sang wanita tak sama dengan yang ada di foto. Tolong untuk tidak terinspirasi melakukan hal serupa hehehe.
- Yang ketiga adalah menulis caption alias judul. Perlu waktu lama untuk memikirkan rangkaian bahasa untuk foto tersebut, sampai akhirnya muncul kalimat “caption nya apa ya?” tidak semua mungkin mengalaminya tapi saya yakin ada yang sedang senyum-senyum merasa hal yang sama ketika akan memposting foto ke akun media sosial Anda. Mari kita sebut ini “BAHASA TULISAN”
Sepenting itu bahasa bagi kami (Gen Y dan Generasi
Milenial). Tapi rasanya sepenting itu pula bahasa bagi seluruh generasi. Berapa
pun umur Anda, Anda ingin menyampaikan sesuatu kan lewat BAHASA.
Apa yang keluar dari mulutmu, itu yang ada di pikiranmu dan
ada di hatimu. Jadi jika seseorang mengeluarkan bahasa yang provokatif, apa
yang ada di hatinya dan dipikirannya pun pastilah kegundahan, kekecewaan dan
keinginan untuk mendapat dukungan provokasi. Namun jika di hati kita ada
kedamaian, dan keinginan untuk bersatu pastilah yang keluar dari akun-akun
media sosial kita adalah sesuatu yang damai dan indah. Ingat, kritis boleh tapi
tidak boleh memprovokasi.
Di awal tahun 2017 ini, saya menulis ini bukan karena merasa
yang paling benar dan bijak menggunakan media sosial. Tapi keresahan Presiden
Jokowi harusnya menjadi keresahan satu Indonesia. Dan apa yang menjadi urgensi
Presiden seharusnya menjadi urgensi satu Indonesia.
WAKE UP INDONESIA! hashtag (#) yang setiap hari muncul di
Twitter itu dilihat jutaan pasang mata di dunia Internasional dan hashtag yang
muncul dari Indonesia kebanyakan berisi hashtag-hashtag yang bagi saya sudah
sungguh memuakkan. Itulah yang orang di luar Indonesia pikir tentang kita.
Pak Jokowi sudah bersemangat membangun nation branding Indonesia, Pak Arief Yahya tak kalah gencar
mempromosikan pariwisata Indonesia dalam rangkaian membangun nation branding, namun apakah kita tega
merusaknya hanya dengan sebuah hashtag (#) ..?
Rethinking before you
post it! Dan Rethinking after you read it.
– Nike Yosephine, Corporate Communication
PT Telkom Indonesia -
No comments:
Post a Comment